AdanyaSetra di sebelah barat Pura Dalem Nyuhaya itu menandakan pura tersebut bukanlah Pura Kawitan. Pura Dalem Nyuhaya akhirnya direnovasi (dibangun kembali) tahun 1970an. Begitu juga dengan pembangunan Pedharman yang merupakan gagasan Raja Klungkung Ida I Dewa Agung Bale Mas (1842 M), yang bertujuan menyatukan kembali raja-raja di Bali.
DalamLontar Andha Bhuwana ini, makna angka 11 pada upacara yadnya menyimpulkan bahwa kata meru sejatinya berasal dari kata 'me' dan 'ru'. Me sendiri memiliki makna meme atau ibu, sedangkan kata ru memiliki artian bapak atau guru. Sehingga melahirkan makna meru yang memiliki arti cikal bakal dari ibu bapak sebagai leluhur yang menjadi
Nama Koran Nusa Bali Tipe: Koran Tanggal: 2020-12-04 Halaman: 03 Konten
Berdasarkankajian ini dan berdasarkan petunjuk dari ida betara lingsir bhujangga yang diterima oleh penulis maka untuk karya agung di kawitan bhujangga Bali ini seharusnya mengambil pantai Batu Bolong Canggu, bukan pantai di Tabanan. Alasannya : Seperti yang kita ketahui pura Batur merupakan stana utama dari Dewa Wisnu di tanah Bali.
SejarahKerajaan Bali. Kerajaan Bali terletak di sebuah pulau yang tidak jauh dari daerah Jawa Timur, tepatnya di sebelah timur Pulau Jawa, maka dalam perkembangan sejarahnya, Bali mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Pulau Jawa. Ketika kerajaan Majapahit runtuh, banyak dari rakyat Majapahit yang melarikan diri kemudian menentap di Bali.
mB9sgtY. - Pada kesempatan ini akan dibagikan penulisan aksara Bali dari nama pelinggih, pura seperti Surya, Kawitan, Melanting, Kemulan dan lain sebagainya. Langsung saja dilihat di bawah ini penulisannya dalam aksara Latin Aksara Bali Arti Apit Lawang [✔] h pi tÞ w*, Balé [✔] b el, Balé Agung [✔] b el h gu*, Balé Bandung [✔] b el b nÑ¡*, Balé Bunder [✔] b el bu nÑ$ , Balé Kambang [✔] b el k mã* , Balé Gedé [✔] b elg ed, Balé Kulkul [✔] b el ku l¡ l/ , Balé Majalila [✔] b el m j lø l/ , Balé Malang [✔] b el ml* , Balé Mujur [✔] b el muju , Balé Mundak [✔] b el mu nÑ k/ , Balé Mandapa [✔] b el m nÑ p , Balé Manguntur [✔] b el m £u nÓ¡ , Balé Murda [✔] b el mU dÒ , Balé Ongkara [✔] b el O£or , Balé Pangambuhan [✔] b el p £ m¡ h n/ , Balé Pegat [✔] b el p g t/ , Balé Paselang [✔] b el p s l* , Balé Pelik [✔] b el p lø k/ , Balé Sakutus [✔] b el s ku tu s/ , Balé Salunglung [✔] b el s lu* lu* , Balé Sari [✔] b el sori , Balé Kembang Sirang [✔] b el k mã* si r* , Balé Sumangkirang [✔] b el ° su m £i r* , Balé Tegeh [✔] b el t g; , Balé Timbang [✔] b el tø mã* , Balé Wongkilas [✔] b el eWÿ £i l s/ , Betara [✔] v ªor, Betara Sangkara [✔] v ª or s \ r , Candi [✔] c xÒø , Candi Bentar[✔] c xÒø b nÓ , Candi Kurung [✔] c xÒø ku ru* , Catu mujung c tu mu ju*¾, Dalem [✔] d ò m/ , Darma [✔] Œ m , Dana Punia [✔] don pu xê, Déwa Buncing [✔] ed w bu ZÇ&ÿ¾¾, Déwa Hyang Putus [✔] ed w hê*¾ pu tu s/ ¾, Déwa Manik [✔] ed w m xø k/ , Déwa Kembar [✔] ed w k mã¾¾, Déwa Hyang [✔] ed w hê*, Déwa Hyang Anom [✔] ed w hê*¾ h eNÿ m/ ¾, Ganésa g en ´¾, Gunung Batur [✔] gu nu*¾ b tu¾, Gedong [✔] g eA*ÿ , Gedong Simpen [✔] g eA*ÿ si mæ n/ , Gunung Agung [✔] gu nu*¾ h gu*¾, Hyang [✔] hê* , Hyang Kompyang [✔] hê* eKÿ mæê* , Hyang Guru [✔] hê*¾ gu ru, Jero [✔] j eRÿ, Jero Nyoman j eRÿ eZÿo m n/ , Jero Luh j eRÿ lu ;¾ , Jro Pikul ejÉo pi ku l/ , Jro Pikul ejÉo pi ku l/ , Kemulan [✔] kmUln/, Kawitan [✔] k wi t n/ , Kayu Selem k yu s ò m/ ¾, Kerta Kawat k$¾ t k w t/ , Limas Catu [✔] lø m sÇ tu , Limas Sari [✔] lø m sŠori , Lumbung [✔] lu m¡*¾ , Manjangan Saluang [✔] m Zéÿ £ nŠlÙ* , Manik [✔] m xø k/ , Melanting [✔] m l nÓ&¾, Maspahit m sæ hø t/ , Menjangan Seluang m Zéÿ \ n¾Šlu w*¾, Medal mdl/, Ngranjing £É Zéÿ&¾, Parhyangan [✔] p hê £ n/ , Pangaruman [✔] p £ rU m n/ , Piasan pê s n/, Pucak Sari pu c k¾Šo ri, Pasarén Sari p s er n¾Šo ri, Pulaki pu l kø, Pamuteran p mu t r n/ , Pegaluhan p g lu h n/ , Pabean p eb y n/ , Paibon p hø ebo n/ , Peraneman Kawitan p r n m n¾ wi t n/ , Peraneman Jajaran p r n m n¾é j r n/ , Pertiwi p$ tø wi¾, Pangrurah p \ɱ r ;¾¾, Padmasari p dß Sÿ ri, Patih Agung p tø ;¾ h gu*¾, Ratu Ngrurah [✔] r tu £É± r; , Pura Jebug Puncak Sari pu r j bu g¾æu ZÇÿ k¾Šori, Pesarén p s er n/ , Pitara/pitari t k×u, Penunggun Karang pnu \á¡ n¾ r*¾, Ratu Ngurah Jaksa r tu \u r ;¾ j k×, Sagara [✔] Sÿ g r , Sanggar [✔] s £á , - Sanggar Agung[✔] s £á h gu* , Sanggar Surya [✔] s £á sU y , Sanggar Tawang [✔] s £á t w* , Sanggar Tutuan [✔] s £á tu tÙ n/ , Sapta Patala [✔] s pÓ p t l, Surya [✔] sU y, Siwa Kemimitan ´ø w k mi mi t n/, Sri Rambut Sedana ´Éù r m¡ t¾Šd n, Tugu Karang tu gu k r*¾, Taksu [✔] t k×u, Ulun Danu [✔] hu lu nÑ nu, - -, Diupdate 3 Juni 2023 Tanda [✔] berarti sudah sesuai dengan penulisan pada kamus yang dikeluarkan oleh dinas kebudayaan. Tutorial Menggunakan Bali Simbar di Laptop/Komputer3 Aplikasi untuk Mengetik Aksara Bali di AndroidKumpulan Stiker Whatsapp Bahasa BaliDemikianlah postingan hari terkait dengan Penulisan Nama Pelinggih, Sanggah, Merajan, Pura Aksara Bali Surya, Kemulan, Kawitan, Pulaki, Melanting, Pabean, Paibon, LebuhJika ada pertanyaan silakan sampaikan pada kolom komentar atau bisa klik kontak yang ada di bawah iniInstagram bahasa_baliFacebook Belajar BahasaBaliYoutube Belajar BahasaBaliWhatsapp Belajar BahasaBaliSemoga bermanfaat, sampai jumpa dan terima kasih!aksara bali surya, penulisan nama pelinggih aksara bali, penulisan kemulan, kawitan dalam aksara bali, penulisan nama pelinggih dalam aksara bali lengkap
Om Swastiastu, Banyak orang bingung mencari Kawitan karena pada zaman Bali Kuna belum ada pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Stelah kalahnya Bali pemerintahan dipegang oleh Dalem Baturenggong dengan dibantu Danghyang Nirarta yg diberi gelar Pedanda sakti Wawu Rauh baru ada pemujaan Kawitan. Jadi orang2 Bali Mula yg sudah ada di Bali sebelum masuknya Dh Nirarta menjadi bingung untuk menelusuri jejak2 leluhur mereka yg sudah ada sebelum masuknya Dh Nirarrta. Pertanyaannya, dimanakah kawitan dan padharmanya para raja dan para ksatria Bali Kuna itu? Sehingga banyak masyarakat Bali Mula contoh Kubayan, Dukuh, Karang Buncing, Tangkas, Bandesa, dimasukkan ke soroh Pasek, padahal Kubayan itu adalah jabatan rohaniawan desa Bali Kuna sebelum masuknya Hindu ke Bali. Dukuh adalah turunan raja2 Bali Kuno yg diberi gelar kependetaan oleh Danghyang Nirartta yg diberi julukan Pedanda Sakti Wawurawuh. Banyak sekali kontroversi mengenai sejarah Bali ini yang perlu diluruskan. Catur Lawa Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan itu bukan soroh atau kelompok warga. Catur Lawa itu adalah 4 kelompok tugas yang membantu kelancaran jalannya upacara yang ada di Pr Penataran Besakih. Dukuh yang mempunyai tugas bagian simbol suci Tuhan atau yang “muput” upakara, Penyarikan mempunyai tugas bagian administrasi, Pande dan Pasek mempunyai tugas membuat sarana dan prasarana lainnya misalnya, membuat tempat pemiosan, menatah logam, dan kerangka lainnya. Jadi dimanakah Kawitan dan Pedharmar masyarakat Bali Mula itu ?? Memuja Tuhan Melalui Pura Kawitan Stana Leluhur Yang Disucikan, Media Terdekat Antara Manusia Dengan Tuhan/ Hyang Widhi Pendiskreditan Kerajaan Badhahulu yang tertulis selama ini menjadi Beda Hulu berselisih dengan pusat/Majapahit dan Beda Muka raja berkepala babi oleh para penekun sastra dan para sejarawan, membawa dampak kebingungan bagi generasi muda Hindu yang ada di Bali, dalam meng-AJeg-kan agama dan budaya Hindu dari hampir kepunahan setelah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam di awal abad ke 16. Dengan menyatunya Hindu Majapahit dengan Hindu Bali yang dimediasi oleh Danghyang Nirartta kemudian diberi gelar Peranda Sakti Wawu Rauh adalah suatu keuntungan untuk memperkokoh kembali agama dan budaya Hindu yang pernah berjaya di bumi Nusantara ini pada awal tarikh masehi. Dalam kitab Nagara Kretagama oleh Slamet Mulyana, pupuh nomor 14 dan 79, Negara Kertagama oleh Megandaru W. Kawuryan 2006184, serta salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Pedanda Gede Jelantik Sugata, Griya Tegeh Budakeling, dialih aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, halaman 12, secara jelas tertulis Badhahulu. Tapi para alih aksara dan penterjemah lain, sengaja mengganti huruf ”a” awal diganti dengan huruf ”e”, sehingga menimbulkan beda arti dari para pembaca Riana, 2009100,377. Kalau boleh diuraikan kata per kata dalam kalimat. Kata Badhahulu berasal dari bahasa Jawa-Kuno, dari urat kata badha dan hulu. Badha artinya tempat, rumah, istana. Hulu artinya kepala, raja, pusat pemerintahan. Jadi Badhahulu adalah istana raja, pusat pemerintahan, namanya kerajaan Badhahulu dengan rajanya bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten Asta=delapan, Sura=dewa, Ratna=permata, Bumi Banten=Tanah Bali artinya raja yang membawahi delapan wilayah kekuasaan pemeritahan di jagat Bali pada era itu, yaitu; Jimbaran, Badung, Tabanan, Buleleng, Bangli, Karangasem, Kelungkung, Mengwi Narendra Dev Pandit Shastri, Sejarah Bali Dwipa, 1963. Dalam Salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, menyebutkan secara tersirat, Badhahulu artinya, maka hulu hulu banda desa sajagat Bangsul arti bebas, sebagai kepala/pusat pemerintahan dari masing-masing kepala desa yang ada di bumi Bali pada zaman itu. Dalam salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, Purana Bali Dwipa, Mandala Wisata Samuan Tiga, Blahbatuh, Gianyar, serta Usana Bali, secara tegas menyebutkan bahwa pusat kraton raja patih Sri Jaya Katong, Raja Masula-Masuli sampai Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten terletak di daerah Batahanar istana baru yang diduga kemudian menjadi nama Kabupaten Gianyar. Di Batahanar sekarang tempat ini berdiri sebuah pura dengan nama Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu, Gianyar. Orang-orang dari Jawa menyebut Badhahulu kemungkinan beliau tidak tahu nama desa tempat kerajaan Astasura Ratna Bumi Banten, Raja akhir Bali Kuno pada saat itu. Dalam prasasti-prasasti Bali Kuno tidak ditemukan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dengan maha patih kerajaan bergelar Kebo Iwa berselisih paham Bedahulu dengan kerajaan Majapahit dengan maha patih kerajaan bergelar Gajah Mada. Secara akal sehat, seandainya memang kerajaan Badhahulu berselisih paham dengan kerajaan Majapahit, mungkinkah Kebo Iwa mau datang ke Jawa? Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, secara administratif Senapati mahapatih kerajaan Batahanar pada era itu adalah Senapati Kuturan Makakasir Mabasa Sinom prasasti Langgahan Caka 1259/1337 Masehi. Skema silsilah Sri Karang Buncing, Sri Kbo Iwa misan mindon dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten berasal dari turunan Sri Maha Sidhimantradewa. Sri Kbo Iwa tapeng dada kerajaan Batahanar yang mewilayahi Blahbatuh, desa paling dekat dengan pusat pemerintahan, disamping di bantu oleh para senapati Bali lainnya. Dalam pamancangah dari Bali, setelah wafatnya Mahapatih Kebo Iwa yang kena pangindra jala perangkap oleh Mahapatih Gajah Mada, akhirnya pada tahun 1343 para Arya Majapahit menyerang pulau Bali, yang pada saat itu dijaga oleh para patih kerajaan Bhadahulu antara lain, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Si Gudug Basur di Batur, Si Kala Gemet di Tangkas, Si Girimana di Ularan, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung Pemacekan sebagai Demung …. Penyerangan terbagi menjadi tiga arah yang dibawah pimpinan Mahapatih Gajahmada menuju wilayah Bali Timur dibantu oleh para Patih dan para Arya lainnya mendarat di Tianyar. Arya Damar dan Arya Sentong, Arya Kutawaringin mendarat di Bali Utara. Dan Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di pantai Bali Selatan dan menuju ke Kuta. Tidak diungkapkan dahsyatnya pertempuran pada ketiga wilayah tesebut. Masa transisi pemerintahan dari kerajaan Bhadahulu ke kerajaan Majapahit, dari tahun 1343 sampai tahun 1352 masih terjadi pemberontakan atau dengan kata lain orang-orang Bali Kuno masih melakukan perlawanan. Selama sembilan tahun masa transisi pemerintahan terjadi 30 kali pembrontakan yang menyebar di Pulau Bali. Untuk menengahi atau mengisi kekosongan pemerintahan selama belum ditunjuk raja baru yaitu Sri Kresna Kepakisan, maka diangkatlah seseorang dan diberi anugrah jabatan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Yang menjadi pertanyaan, siapakah Kyayi Agung Pasek Gelgel? Mungkinkah beliau berasal dari Jawa untuk menengahi perselisihan antara Bali dan Majapahit? Dalam Kamus Jawa-Kuno oleh Zoetmulder 1995786, kata Pasek berarti, pemberian, anugrah, hadiah. Seandainya Kyayi Agung Pasek Gelgel itu berasal dari Jawa semestinya beliau disebut Arya. Karena beliau berperan penting menjadi pemimpin di dalam menengahi konflik transisi pemerintahan akhir Bali Kuno. Setelah datangnya Danghyang Nirartta, sebutan Arya dikenal menjadi Gusti dan berubah sebutan setelah datangnya penjajahan Belanda. Dengan adanya konsep pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga banyak orang-orang Bali-Mula masuk dalam satu garis keturunan Warga Pasek, misalnya kubahyan, tangkas, bendesa, karang buncing dan warga Bali Mula lainnya. Warga Bali Mula yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru disebut arya misalnya, Sri Giri Ularan putra dari Sri Rigis menjadi mahapatih senapati di kerajaan Dalem Baturenggong menjadi Arya Ularan Gusti Ularan, Keturunan Sri Karang Buncing menjadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing. Sri Rigis menjadi Arya Rigis, Sri Pasung Giri menjadi Arya Pasung Giri, Si Tunjung Tutur menjadi Arya Tunjung Tutur, Si Tunjung Biru menjadi Arya Tunjung Biru. Pertanyaan lainnya, apa interelasi spiritual antara Gotra Pasek Kyayi Agung Pasek Gelgel dengan Catur Lawa yaitu 4 empat kelompok tugas yang bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih yaitu Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan, mungkinkah beliau-beliau ini keturunan Bali Kuno. Pada era itu sistem pemerintahan ditentukan oleh fungsi bakat dan pekerjaan seseorang bukan ditentukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem soroh klen, kasta. Dimana persiapan upacara dan upakara akan dilakukan ditempat di pura mana akan diadakan pujawali, ada bagian yang mengurus tentang surat menyurat, bagian perlengkapan upakara, bagian yang berwenang tentang simbol suci Tuhan atau pendeta yang memimpin upacara dan bagian lainnya. Pasek dalam hal ini bukanlah sebuah treh, soroh, gotra, wangsa, klen kelompok warga. Pasek adalah sebuah istilah, jabatan atau bagian yang bertugas membantu mensukseskan jalannya upakara dan upacara yang ada di Pura Penataran Besakih. Pura Pande menata segala peralatannya yang terbuat dari benda logam dan rangka peralatan lain. Pura Penyarikan bertugas menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur Gobyah, I Ketut. Bali Post 30 April 2008. Dalam satu kelompok seksi/tugas tentu anggotanya terdiri dari beberapa orang yang bisa saja berasal dari kelompok warga lain. Istilah Dukuh berasal dari turunan Dukuh Gamongan dari Desa Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, yang melahirkan para Dukuh yang ada di jagat Bali. Kemudian ditegaskan kembali oleh Danghyang Nirarta adalah suatu anugrah gelar Dukuh pendeta yang diberikan untuk warga Bali-Mula dan Bali Kuno, walaupun dari keturunan wangsa apa pun mereka. Dukuh adalah sebuah jabatan yang bertugas sebagai pemimpin upacara keagamaan di Pura Besakih. Jadi pendeta Dukuh yang memimpin upacara dan upakara di Bali pada era itu, sebelum datangnya para Brahmana Majapahit dari Jawa. Pada zaman Gelgel datang ke Bali dua pendeta Siwa dan Buddha dari Majapahit ialah Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka memperkuat hubungan Majapahit dan Bali. Pada waktu itu didirikan pedharman Raja/Dalem Samprangan dan Dalem Gelgel berupa meru-meru terletak di belakang Pura Catur Lawa. Tentunya pendirian pedharman-pedharman itu juga melalui nyadnya craddha. Dr. Martha A. Muuses mengidentifikasikan yadnya craddha dengan upacara mamukur di Bali yaitu upacara mengembalikan atma ke unsur asalnya yakni Paratma. Dengan demikian Pura Catur Lawa merupakan kumpulan orang-orang Bali Mula yang mendapat tugas sebagai cikal bakal untuk ngamong bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih, simbol stana suci ida bhatara gunung Agung/Tolangkir. Pura Besakih merupakan lambang satu kesatuan antara Hindu Bali dan Hindu Majapahit. Setelah kalahnya kerajaan Badhahulu oleh kerajaan Majapahit, terjadi dua terapan relegi yang dianut oleh masyarakat Bali saat kini, yaitu adanya sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Bali Kuno, dan ada sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Majapahit, bahkan masyarakat bisa menjalani kedua konsep tersebut, mengikuti aturan para pimpinan yang berkuasa pada saat itu. Berikut komparasi antara, yaitu adanya Sugiyan Jawa dan Sugiyan Bali. Dalam Usana Jawa menyebutkan, sisa tentara Majapahit yang masih hidup dan menetap di Bali, sudah mempunyai anak cucu, saling kawin mengawinkan berbaur, silih pinang meminang antara wanita Bali, namun ada tanda-tandanya, jika setiap hari raya Kamis Wage Sungsang yang disebut Sugiyan Jawa, rakyat Majapahit yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Jika setiap hari Jumat Kliwon Sungsang yang disebut Sugiyan Bali, rakyat Bali asli yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Juga adanya tonggak piodalan yang satu mengikuti sasih bulan dan yang satu lagi mengikuti wuku minggu. Acara pamelastian yang satu mengikuti sasih ka sanga bulan ke 9 dan satu lagi mengikuti sasih ka dasa bulan ke 10. Disamping hari penyepian di sawah, di segara, di tegalan, di pura, terdapat perbedaan sesuai dengan dresta desa, kala, patra setempat. Juga dalam acara resi yadnya padiksan dalam pengesahan seorang pendeta, yang satu mengikuti melalui napak wakul bhatara kawitan, dan satu lagi mengikuti napak kaki guru nabe. Semenjak itu juga perlahan-lahan terjadi penataan pemerintahan yang baru, baik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, maupun kesusastraan, dan lainnya dalam menyatukan paham Bali Kuno dengan paham Majapahit. Yang dulunya seorang pendeta mewakili sekte/agama yang dianut, walaupun dari kelompok keturunan mana pun beliau, misalnya; dang acharya sebutan pendeta sekte Siwa, dang upadhyaya gelar pendeta untuk sekte Budha, Rsi Bhujangga gelar pendeta sekte Waisnawa, Pitamaha gelar pendeta sekte Brahma, Bhagawan gelar pendeta sekte Bhairawa, dan sebagainya. Sekarang masing-masing kelompok warga diberikan gelar pendeta dan identitas sosial lain dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya Dukuh gelar pendeta bagi warga Bali Kuno, Ida Pedanda gelar pendeta bagi warga Ida Bagus, Sri Mpu gelar pendeta bagi warga Pasek, Rsi Bhagawan gelar pendeta untuk warga para Gusti, Rsi Bujangga gelar pendeta bagi warga Sengguhu, Sira Mpu gelar pendeta bagi warga Pande, dan seterusnya, lengkap dengan aturan atiwa-tiwa/pitra yadnya dan atribut lainnya. Pertanyaannya adalah mengikuti paham manakah pendeta para gotra kelompok warga itu, apakah mengikuti paham Siwa, Boddha, Waisnawa, Bhairawa, Sora, Sakta, Sambu, Rsi atau yang lain? Para Arya Majapahit yang telah berjasa didalam menaklukkan rakyat Bali, lalu dicandikan di suatu tempat untuk memuja roh leluhur yang telah suci yang ada di Jawa sebagai penghayatan atau media terdekat dengan leluhur disebut Pura Kawitan stana suci para leluhur. Dalam Kamus Bali-Indonesia Tim 801 menyebutkan kata Kawitan artinya leluhur, asal mula warga, wangsa, treh, gotra. Dengan munculnya konsep penataan pemujaan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga membawa dampak kebingungan bagi masyarakat Bali Mula untuk menelusuri jejak-jejak para leluhur mereka yang sudah ada sebelum datangnya sang konseptor Danghyang Nirartta dari Jawa. Para Raja dan Ksatria Bali kuno, dan jabatan pemerintah bawahan seperti; para senapati, para pendeta, samgat, caksu, kubayan, Si Tunjung Biru, Si Kalung Singkal, Ki Tambyak, Ki Tunjung Tutur, Ki Kopang, Ki Bwahan, Si Pangeran Tangkas, Ki Pasung Grigis, dan leluhur masyarakat Bali Aga dan Bali Mula yang lain, pada saat kini dimanakah Pura Kawitan beliau-beliau itu? Dan dimanakah Padharman beliau-beliau itu? Dengan adanya reformasi pemerintahan oleh Raja Dalem Baturenggong dengan dibantu pendeta kerajaan Danghyang Nirartta mempunyai konsep yang sangat cemerlang sekali menyatukan warga agar tidak tercerai berai beralih ke agama/sekte/paham lain. Yaitu dengan konsep memuja Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Sesuai dengan sloka Taittiriya Upanisad menyebutkan “Seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah dewa, dan para tamu pun adalah dewa”. Dengan demikian secara empiris, keturunanya akan memuja Tuhan lewat’ roh suci bapak dan ibu, kakek nenek, leluhur dan seterusnya, yang pada akhirnya akan sampai juga pada Beliau/Tuhan. Para leluhur hanya sebatas menyaksikan dan mengantarkan’ doa, maksud, dan tujuan kepada Tuhan atau kepada dewa yang mesti disampaikan oleh para leluhur kita. Para leluhur adalah asal muasal kita sebagai manusia. Semenjak masih janin dalam kandungan Ibu, kita sudah terhubung dengan-Nya ibu yaitu melalui tali pusar ari-ari. Tali pusar media penghubung kehidupan dalam kandungan antara sang janin dengan sang ibu. Dalam penerapan keagamaan sehari-hari mungkin’ ari-ari tali pusar ini disimbolkan menjadi selempot senteng, karena selalu melekat menutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam setiap menghadap-Nya Selain sebagai pengikat panca budhiindria dan panca karmenindria, simbol mengekang sepuluh lobang yang ada dalam tubuh pada saat seseorang berkehendak melakukan puja dan puji terhadap Tuhan/Hyang Widhi. Walaupun seseorang memakai celana panjang jika sudah memakai senteng/selempot akan diijinkan masuk ke pura. Senteng/selempot hanyalah sebuah simbol dan atau sebuah peraturan. Bukankah sebuah simbol mengandung makna tertentu dibalik simbol-simbol itu. Sama dengan seseorang harus memiliki KTP, Passport, dan identitas lain sebagai simbol pengganti dari seseorang jika ingin mengetahui identitas lebih lengkap tentang dirinya. Demikian juga dengan senteng selempot yang mengandung makna sebagai penghubung ke para leluhur warga, dan para leluhur akan mem-bahasa-kan doa, maksud, dan upacara umat kepada Tuhan/Hyang Widhi. Sesungguhnya kita tidak tahu bahasa apa yang dipakai oleh para dewa dalam berkomunikasi antara dewa dan dewa itu sendiri. …. kira2 demikian sejarah munculnya konsep pemujaan KAWITAN di jagat Bali ini …
nama nama kawitan di bali